Rabu, 01 Agustus 2012

Upacara Nyadran

Oleh: Hurul Aini Silmi

YOGYAKARTA, GUNUNG KIDUL, Tradisi Sadranan di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen,  yang dilaksanakan  pada senin lalu (16/07/12) berlangsung meriah, diikuti ratusan warga baik dari kalangan warga Desa Beji, pengunjung dari luar, serta kru media massa yang datang meliput. Sampai hari ini, warga desa di sekitar Hutan Wonosadi masih terus menjalankan berbagai upacara adat. Upacara adat tersebut digelar untuk menghormati leluhur yang membangun hutan tersebut. Salah satu upacara yang diikuti oleh anak-anak KKN PPM-UGM 2012 Unit Beji adalah Upacara Sadranan.
           Berdasarkan definisi menurut Wikipedia, yang dijelaskan dalam bahasa Jawa, Sadranan utawa nyadran yakuwi rangkean kegiatan keagamaan sing wis dadi tradisi sing dilakoni nang wulan Syakban (Ruwah) menjelang wulan Ramadhan (Puasa). Tradisi Sadranan wis umum dilakoni masyarakat muslim Asia Tenggara ning kadang beda jeneng karo beda rangkean kegiatane. Masyarakat Jawa, termasuk juga masyarakat Desa Beji, Kecamatan Ngawen, ngelakoni tradisi kiye sebagai penghormatan maring arwah leluhur, kerabat/sedulur.
Tradisi Sadranan (Nyadran) untuk sekarang ini dipengaruhi kuat oleh agama Islam. Sebenarnya kata Sadranan berasal dari bahasa sansekerta, Sraddha yang berarti keyakinan. Akan tetapi, tradisi Sadranan dikemas ulang oleh Sunan Kalijaga dalam nuansa Islamik dan silahturahmi. Tradisi Nyadran tidak terlalu mempengaruhi agama Buddha, tetapi terdapat pemahaman yang tidak sesuai dengan paham Buddhisme. Pembunuhan binatang, seperti; ayam, kambing, dan sapi yang digunakan sebagai sarana tradisi. Selain itu, juga terdapat konsep yang berada diluar jalan tengah, yaitu pemuasan nafsu. Ketika Tradisi Sadranan dimulai, orang-orang diharapkan untuk makan di setiap rumah yang disinggahi. Meskipun kantong perut sudah tidak muat dengan makanan lagi, tetap saja diharuskan untuk makan. Bukankah hal tersebut sama saja dengan pemuasan nafsu.
Upacara ritual sadranan yang rutin diselenggarakan setahun sekali  pada setiap hari Senin Legi di Bulan Juli itu, merupakan ritual adat yang terdiri dari acara makan bersama di Puncak Hutan Wonosadi maupun Gunung Gambar serta mempertontonkan tradisi adat. Berdasarkan kisah yang ditulis oleh seorang tetua adat, Muh Kasno, dalam bukunya ‘Sebuah Kearifan Lokal Konservasi Sumber Daya Alam Hutan Wonosadi’ menceritakan Setelah Majapahit runtuh, Eyang Honggoloco, nama samaran Raden Ronggo, senopati Kerajaan Majapahit, bersama keluarganya pergi dan kemudian menemukan tempat itu. Beliau kemudian bertapa di hutan tersebut sehingga tak boleh  dikotori dengan perbuatan tidak baik.
Berdasarkan penuturan dari Bapak Dukuh Sidorejo saat penulis berkunjung dalam rangka peninjauan lokasi KKN, banyak terjadi peristiwa aneh yang terjadi yang kemudian menyadarkan warga untuk tidak menebang pohon atau mencuri kayu dari  hutan. Kejadian tersebut antara lain seperti meja atau kursi yang terbuat dari kayu hutan seringkali berderit sendiri tanpa sebab, atau bangunan yang dibangun dari kayu hutan tersebut tak akan bertahan lama, misalkan hangus karena kebakaran, dan sebagainya.
Untuk memberikan kesadaran akan lingkungan kadang terkait dengan mitos tertentu, hal inilah konsep yang dipakai masyarakat desa wonosadi tersebut. Dengan kepercayaan bahwa hutan tersebut milik Pangeran Onggolotjo seorang putra keturunan dari Kerajaan Majapahit. Pangeran tersebut memberikan kepercayaan warga desa WOnosadi untuk mengelola dan menjaga HUtan Wonosadi dengan sebaik-baiknya. Dengan rasa takut yang menggangap status hutan milik orang kerajaan atau ningrat, maka hal ini menumbuhkan kesadaran untuk menjaga semua kekayaan yang ada dihutan Wonosadi tersebut. Karena ras takut itulah maka berimbas akan kelestarian ekosistem hutan dengan baik. Oleh karena itu Hutan Wonosadi merupakan hutan lindung dalam artian benar-benar dilindungi dan dipelihara kelestariannya oleh warganya. Ini merupakan konsep yang sederhana yang diterapkan namun dapat di pahami oleh seluruh warga untuk menjaga kelestarian hutan sebagai satu adat istiadat yang wajib dilestarikan.
Hutan Wonosadi saat ini dijaga 25 relawan yang bertugas menjaga dan merawat hutan, serta menanam bibit-bibit baru. Para relawan tersebut mendapatkan "keistimewaan", antara lain mereka dibebaskan dari kerja bakti—yang nyatanya tak pernah ada kerja bakti—mereka juga dibebaskan dari pungutan wajib desa yang jumlahnya hanya Rp 5.000 setiap tahunnya. Selain itu mereka uga dibebaskan dari biaya membuat surat-surat keterangan, padahal belum tentu setahun sekali membuat surat  keterangan. Upacara Sadranan ini biasanya diikuti dengan pertunjukan kesenian musik rinding gumbeng. Seni Rinding Gumbeng adalah seni music yang menggambarkan kondisi keeharian mayoritas masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul yang ulet, sederhana, dan dekat dengan alam. Kesenian ini dulu merupakan kesenian yang dimainkan saat panen pertama, namun saat ini sudah jarang dimainkan namun desa ini berupaya tetap melestarikan dengan cara memadukan dengan musik tradisional lainnya seperti campursari.
Selain dilakukan di Hutan Wonosadi, upacara adat Sadranan juga seringkali dilakukan di Gunung Gambar. Gunung Gambar merupakan obyek wisata spiritual yang berada di Desa Jurangrejo, Kecamatan Ngawen kurang lebih 39 km dari Wonosari, terletak pada ketinggian 200 m di atas permukaan laut, sehingga dari puncaknya kita dapat menikmati keindahan Rawa Jombor di Klaten dan Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri.
Menurut legenda, tempat ini merupakan pertapaan Raden Mas Said atau lebih dikenal sebagai Pangeran Samber Nyawa, yang kemudian menjadi pengusa Mangkunegaran Surakarta dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. Di tempat ini beliau duduk diatas batu (watu Kong) menggambar lokasi yang akan menjadi wilayah Mangkunegaran serta menyusun strategi untuk melawan Belanda. Letak Hutan Wonosadi tak jauh dari Gunung Gambar.
Dukuh Dusun Duren, Ibu Ngatini (42 tahun) saat diwawancarai dirumahnya (01/08/12) lalu menjelaskan bahwa tradisi sadranan  sudah  berlangsung turun temurun  sejak dulu kala. Sadranan diselenggarakan  sebagai ungkapan rasya syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa  atas  berkah, rejeki dan keselamatan yang telah diberikan selama ini, sehingga warga desa bisa hidup  tentram dan sejahtera. Selain itu  juga dimaksudkan untuk mengenang arwah para leluhur  desa  yang semasa hidupnya telah berjasa merintis  keberadaan desa.
“Tradisi sadranan ini dimaksudkan sebagai ungkapan syukuran, Mbak, atas limpahan rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa, sekligus untuk mengenang Ki  Onggoloco yang diyakini sebagai  leluhur perintis desa“ ujarnya. Warga datang sambil membawa nasi dan lauk pauk yang dibungkus dengan wadah dari anyaman dan daun pisang. Lauk yang penulis makan waktu itu adalah ayam, tempe, serta sejenis pecel. Upacara Sadranan ini dimulai dari basecamp Kelompok Seni Rinding Gumbeng, yang terletak di Dusun Duren—subunit KKN penulis—dan diakhiri di puncak Hutan Wonosadi. Aneka jajanan ramai berdatangan dan menjejali bagian depan basecamp Rinding Gumbeng. Sebelum menuju puncak Hutan Wonosadi, ritual Sadranan juga dilakukan di sebuah tempat keramat yang dinaungi pohon besar, yang dijuluki ‘Sendang’.
Menurut Pak Dukuh Dusun Duren, Bapak Wardi (42 tahun) saat ditanyakan mengenai asal-usul Sendang tersebut (01/08/12), beliau bertutur, “Sendang itu kan sumber mata air yang banyak dimanfaatkan oleh warga untuk berbagai kepentingan, antara lain untuk mandi, untuk minum dan berbagai aktivitas warga lainnya. Air di sini kan jarang banget keringnya, Mbak, kayak Hutan Wonosadi. Banyak juga kejadian aneh terjadi di sini, jadi tempat ini dikramatkan. Ya tapi acara sadranan ini semata-mata untuk mengenang dan melestarikan adat aja, Mbak. Kalau meminta apa-apa ya tetap pada Yang Maha Kuasa. Soalnya orang jaman sekarang sudah banyak yang lupa sama sejarahnya sendiri, Mbak.”
Doa bersama dan acara makan bersama tersebut merupakan pembuka dari prosesi sadranan atau nyadran yang setiap tahun diperingati umat Islam di Desa Duren. Selama pembacaan doa itu, anak-anak hingga orang dewasa duduk berbaris mengikuti alur tatanan barisan tenong. Kemudian ratusan tenong itu diletakkan di sekitar pemakaman dengan alur penataan memanjang. Makanan ini akan makan oleh anak-anak maupun orang dewasa tatkala semua prosesi sadranan usai.
Di masyarakat Jawa, nyadran juga sering disebut ruwahan. Karena pelaksanaannya dilakukan pada bulan Ruwah dalam hitungan kalender Jawa. Acara Sadranan di Desa Beji ini agak berbeda dari makna Sadranan pada umumnya. Tradisi nyadran pada umumnya merupakan ziarah kubur pada bulan Sya’ban (Arab), atau Ruwah dalam kalender Jawa, menjadi semacam kewajiban bagi orang JawaZiarah dengan membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga adalah simbol bakti dan ungkapan penghormatan serta terima kasih seseorang terhadap para leluhurnya. Makna yang terkandung dalam persiapan puasa di bulan Ramadan adalah agar orang mendapatkan berkah dan ibadahnya diterima Allah. Lewat ritual nyadran, masyarakat Jawa melakukan penyucian diri. Setelah membersihkan makam, biasanya bagi acara Sadranan pada umumnya di tempat lain, panitia sadranan memutar kaset yang berisi lantunan ayat suci Alquran.
Namun di Dusun Duren hanya acara doa bersama. Sejurus kemudian, warga membawa sebuah tenong atau sejenis nampan bulat yang terbuat dari anyaman bambu beralaskan daun pisang atau daun jati. Seluruh peserta Sadranan dengan penuh khidmat mengikuti seluruh prosesi ritual yang ditandai dengan berdoa bersama, dipimpin tetua desa. Seusai doa untuk memohon keselamatan dan limpahan rejeki dari yang maha kuasa, makanan yang mereka bawa kemudian dinikmati sebagai ungkapan syukur. Selanjutnya setelah berdoa bersama, dilakukan pembagian makanan kepada peserta sadranan. Sembari  menikmati makanan,  beberapa warga  mengambil potongan nasi berikut sebagian lauk pauk dan jajanan untuk dikumpulkan. Hasil makanan yang dikumpulkan, kemudian dibagikan di atas pelepah pisang dan dibagikan kepada seluruh peserta dan tamu undangan sebagai nasi berkat untuk dimakan di tempat atau dibawa pulang.
Menurut pemuka agama setempat, sesajian yang ada didalam tenong itu sebagai wujud syukur atas kelancaran rezeki yang diterimanya selama ini. Oleh sebab itu, bisa dairtikan bahwa mereka itu membawa tenong dan isinya tersebut untuk bersedekah dan beramal. Sebab, selain melakukan ziarah kubur, sadranan ini juga erat kaitannya dengan mempererat tali silaturahmi. Mereka akan saling berkunjung dari rumah ke rumah setelah acara sadranan di makam selesai.
Menurut salah seorang budayawan, Mufti Rahardjo, tradisi sadran memang menjadi salah satu kearifan lokal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa menjelang bulan Puasa. Melalui tradisi ini, masyarakat Jawa meyakini bisa berkomunikasi dengan leluhurnya. Sebab itu, tradisi ini diakui sebagai wujud ngabekti pada leluhur yang telah meninggal. Sekaligus mendoakan para leluhur agar ditempatkan di surga.
Pembagian nasi berkat ini bukan berarti prosesi ritual sadranan  telah selesai. Warga dan peserta yang telah makan makanan kemudian melanjutkan perjalanan mendaki ke puncak Hutan Wonosadi. Tradisi sadranan ini akan terus dilestarikan  di masa-masa mendatang sebagai warisan budaya dari nenek moyang. Diutarakan, melalui penyelenggaraan ritual sadranan selain dimanfaatkan untuk   doa bersama  dan ungkapan syukur, juga sekaligus sebagai wahana mempererat tali persaudaraan sesama warga.
Budaya sadranan ini memang berakar pada tradisi Jawa. Bisa dikatakan, tradisi yang mulai dilakukan 30 hari sebelum puasa ini merupakan salah satu akulturasi antara budaya Jawa dengan Islam.
Sebelum agama Islam muncul di Jawa, tradisi ini sudah berkembang. Kemudian pada masa Wali Sanga, terjadi proses akulturasi antara budaya Jawa dengan agama Muslim. Pada zaman Mataram Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, tradisi sadranan diatur dengan adanya revolusi penanggalan yang semula penanggalan Hindu, yaitu Saka, menjadi penanggalan Jawa. Menurut almanak Jawa, bulan sebelum Puasa adalah Ruwah. Pada bulan ini diharapkan menyucikan dan membersihkan diri menyambut bulan Puasa sekaligus meminta keselamatan. Juga untuk menghormati dan menghargai leluhur, mengingat kembali petuah, harapan dengan cara membersihkan makam sekaligus ziarah.
Tradisi ini menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Karena ini merupakan wujud bakti seorang anak kepada orangtua dan leluhur yang telah meninggal.
Maka tak heran untuk beberapa daerah, banyak dari mereka yang menyempatkan diri pulang kampung. Selanjutnya para perantau itu pun berkumpul dan bercengkrama dengan anggota keluarga dan warga masyarakat lainnya.
 Konsep Buddhisme mengenai Tradisi Sadranan agak berbeda, yakni tidak dengan melakukan pembunuhan dan pemuasan nafsu. Pembunuhan selayaknya dikurangi karena manyakiti mahkluk lain. Saran menghindari pembunuhan hanya dengan membeli daging. Bahkan mengganti daging dengan bahan pengganti daging yang sudah banyak tersedia di pasar. Pemuasan nafsu memang sangat sulit karena setiap mengunjungi rumah diharuskan untuk makan. Tentu tidak merasa enak hati ketika menolak tawaran penghuni rumah yang memaksa untuk makan. Penghuni rumah selayaknya tidak memaksa tamu untuk tetap makan, sebab kekenyangan bukan hal yang membahagiakan. Pengunjung tidak terlalu rakus ketika berkunjung, makan sedikit saja setiap rumah.
Selain Upacara Sadranan, menurut Bu Ngatini, juga terdapat upacara lainnya, seperti upacara Rasulan, Mboyong Dewi Sri, Midang, Mitoni, dan Ruwatan. Upacara-upacara tersebut biasanya diadakan pada Kamis Legi di Bulan Juli. Acara Rasulan misalnya antara lain terdiri dari makan-makan bersama (syukuran atas berkah Tuhan terhadap hasil panen penduduk), juga diselenggarakan doa bersama atau Tarikatan pada Kamis Leginya, diikuti dengan penampilan kesenian Wayang Kulit hari berikutnya. Biasanya upacara Rasulan tersebut dilakukan di Bulan Juli, namun menurut keterangan Bu Ngatini, karena bertabrakan dengan bulan puasa, maka acara Rasulan dilakukan pada Kamis Legi setelah lebaran. Suatu hal yang sangat disayangkan bagi penulis karena tak berkesempatan menyaksikan upacara tersebut secara langsung.
Pemeliharaan adat leluhur yang masih dilakukan oleh masyarakat sekitar sudah sepatutnya kita tiru sebagai generasi penerus bangsa yang tak melupakan asal-usul bangsanya. Kalau bukan kita sebagai generasi muda yang melakukannya, siapa lagi?


Mahasiswa KKN-PPM UGM Unit Beji sedang mengikuti upacara Sadranan

Ketua adat sedang berdoa di tengah ritual Sadranan
Makanan yang disiapkan untuk prosesi Sadranan
Upacara Sadranan di Sendang
Warga berkumpul di Sendang sambil membawa makanan
Penampilan Kesenian Rinding Gumbeng
Para penyayi Rinding Gumbeng
Makanan yang akan dibawa ke puncak Hutan Wonosadi
Upacara Sadranan di Sendang
Penembang Rinding Gumbeng dalam acara latihan bersama warga
Mahasiswi KKN-PPM UGM yang ikut menikmati makanan di Sendang
Prosesi latihan Rinding Gumbeng yang diikuti mahasiswa
prosesi latihan Rinding Gumbeng
mahasiswa subunit Dusun duren yang mengikuti latihan
mahasiswa KKN-PPM UGM subunit Beji yang berbaur dengan warga dalam khidmatnya Sadranan


Warga Desa Beji berkumpul memeriahkan Upacara Sadranan

 Sumber tulisan: wawancara dengan tokoh masyarakat sekitar dan pengolahan informasi dari berbagai sumber di situs internet.

Sumber foto-foto: dokumentasi penulis selama menjalani KKN-PPM di Dusun Duren, Gunung Kidul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar