Oleh: Hurul Aini Silmi
YOGYAKARTA, GUNUNG KIDUL, Tradisi Sadranan di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, yang dilaksanakan pada senin lalu (16/07/12) berlangsung meriah, diikuti ratusan warga baik dari kalangan warga Desa Beji, pengunjung dari luar, serta kru media massa yang datang meliput. Sampai hari ini, warga desa di sekitar Hutan Wonosadi masih terus menjalankan berbagai upacara adat. Upacara adat tersebut digelar untuk menghormati leluhur yang membangun hutan tersebut. Salah satu upacara yang diikuti oleh anak-anak KKN PPM-UGM 2012 Unit Beji adalah Upacara Sadranan.
Berdasarkan definisi menurut Wikipedia, yang dijelaskan dalam bahasa Jawa, Sadranan utawa nyadran yakuwi rangkean kegiatan
keagamaan sing wis dadi tradisi sing dilakoni nang wulan Syakban (Ruwah)
menjelang wulan Ramadhan (Puasa). Tradisi Sadranan wis umum dilakoni masyarakat muslim Asia Tenggara
ning kadang beda jeneng karo beda rangkean kegiatane. Masyarakat Jawa,
termasuk juga masyarakat Desa Beji, Kecamatan Ngawen, ngelakoni tradisi kiye sebagai
penghormatan maring arwah leluhur, kerabat/sedulur.
YOGYAKARTA, GUNUNG KIDUL, Tradisi Sadranan di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, yang dilaksanakan pada senin lalu (16/07/12) berlangsung meriah, diikuti ratusan warga baik dari kalangan warga Desa Beji, pengunjung dari luar, serta kru media massa yang datang meliput. Sampai hari ini, warga desa di sekitar Hutan Wonosadi masih terus menjalankan berbagai upacara adat. Upacara adat tersebut digelar untuk menghormati leluhur yang membangun hutan tersebut. Salah satu upacara yang diikuti oleh anak-anak KKN PPM-UGM 2012 Unit Beji adalah Upacara Sadranan.
Tradisi Sadranan (Nyadran) untuk sekarang ini dipengaruhi
kuat oleh agama Islam. Sebenarnya kata Sadranan berasal dari bahasa sansekerta,
Sraddha yang berarti keyakinan. Akan tetapi, tradisi Sadranan dikemas ulang
oleh Sunan Kalijaga dalam nuansa Islamik dan silahturahmi. Tradisi Nyadran
tidak terlalu mempengaruhi agama Buddha, tetapi terdapat pemahaman yang tidak
sesuai dengan paham Buddhisme. Pembunuhan binatang, seperti; ayam, kambing, dan
sapi yang digunakan sebagai sarana tradisi. Selain itu, juga terdapat konsep
yang berada diluar jalan tengah, yaitu pemuasan nafsu. Ketika Tradisi Sadranan
dimulai, orang-orang diharapkan untuk makan di setiap rumah yang disinggahi.
Meskipun kantong perut sudah tidak muat dengan makanan lagi, tetap saja
diharuskan untuk makan. Bukankah hal tersebut sama saja dengan pemuasan nafsu.
Upacara ritual sadranan yang rutin
diselenggarakan setahun sekali pada setiap hari Senin Legi di Bulan Juli itu,
merupakan ritual adat yang terdiri dari acara makan bersama di Puncak Hutan
Wonosadi maupun Gunung Gambar serta mempertontonkan tradisi adat. Berdasarkan
kisah yang ditulis oleh seorang tetua adat, Muh Kasno, dalam bukunya ‘Sebuah
Kearifan Lokal Konservasi Sumber Daya Alam Hutan Wonosadi’ menceritakan Setelah
Majapahit runtuh, Eyang Honggoloco, nama samaran Raden Ronggo, senopati
Kerajaan Majapahit, bersama keluarganya pergi dan kemudian menemukan tempat
itu. Beliau kemudian bertapa di hutan tersebut sehingga tak boleh dikotori dengan perbuatan tidak baik.
Berdasarkan penuturan dari Bapak Dukuh
Sidorejo saat penulis berkunjung dalam rangka peninjauan lokasi KKN, banyak terjadi
peristiwa aneh yang terjadi yang kemudian menyadarkan warga untuk tidak menebang
pohon atau mencuri kayu dari hutan. Kejadian
tersebut antara lain seperti meja atau kursi yang terbuat dari kayu hutan
seringkali berderit sendiri tanpa sebab, atau bangunan yang dibangun dari kayu
hutan tersebut tak akan bertahan lama, misalkan hangus karena kebakaran, dan
sebagainya.
Untuk memberikan kesadaran akan
lingkungan kadang terkait dengan mitos tertentu, hal inilah konsep yang dipakai
masyarakat desa wonosadi tersebut. Dengan kepercayaan bahwa hutan tersebut
milik Pangeran Onggolotjo seorang putra keturunan dari Kerajaan Majapahit.
Pangeran tersebut memberikan kepercayaan warga desa WOnosadi untuk mengelola
dan menjaga HUtan Wonosadi dengan sebaik-baiknya. Dengan rasa takut yang
menggangap status hutan milik orang kerajaan atau ningrat, maka hal ini
menumbuhkan kesadaran untuk menjaga semua kekayaan yang ada dihutan Wonosadi
tersebut. Karena ras takut itulah maka berimbas akan kelestarian ekosistem
hutan dengan baik. Oleh karena itu Hutan Wonosadi merupakan hutan lindung dalam
artian benar-benar dilindungi dan dipelihara kelestariannya oleh warganya. Ini
merupakan konsep yang sederhana yang diterapkan namun dapat di pahami oleh
seluruh warga untuk menjaga kelestarian hutan sebagai satu adat istiadat yang
wajib dilestarikan.
Hutan Wonosadi saat ini dijaga 25 relawan yang bertugas menjaga dan merawat
hutan, serta menanam bibit-bibit baru. Para relawan tersebut mendapatkan "keistimewaan",
antara lain mereka dibebaskan dari kerja bakti—yang nyatanya tak pernah ada
kerja bakti—mereka juga dibebaskan dari pungutan wajib desa yang jumlahnya hanya
Rp 5.000 setiap tahunnya. Selain itu mereka uga dibebaskan dari biaya membuat
surat-surat keterangan, padahal belum tentu setahun sekali membuat surat keterangan. Upacara Sadranan ini biasanya
diikuti dengan pertunjukan kesenian musik rinding gumbeng. Seni Rinding Gumbeng
adalah seni music yang menggambarkan kondisi keeharian mayoritas masyarakat di
Kabupaten Gunung Kidul yang ulet, sederhana, dan dekat dengan alam. Kesenian
ini dulu merupakan kesenian yang dimainkan saat panen pertama, namun saat ini
sudah jarang dimainkan namun desa ini berupaya tetap melestarikan dengan cara
memadukan dengan musik tradisional lainnya seperti campursari.
Selain dilakukan di Hutan Wonosadi,
upacara adat Sadranan juga seringkali dilakukan di Gunung Gambar. Gunung Gambar
merupakan obyek wisata spiritual yang berada di Desa Jurangrejo, Kecamatan
Ngawen kurang lebih 39 km dari Wonosari, terletak pada ketinggian 200 m di atas
permukaan laut, sehingga dari puncaknya kita dapat menikmati keindahan Rawa Jombor
di Klaten dan Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri.
Menurut legenda, tempat ini merupakan
pertapaan Raden Mas Said atau lebih dikenal sebagai Pangeran Samber Nyawa, yang
kemudian menjadi pengusa Mangkunegaran Surakarta dengan gelar KGPAA
Mangkunegara I. Di tempat ini beliau duduk diatas batu (watu Kong) menggambar
lokasi yang akan menjadi wilayah Mangkunegaran serta menyusun strategi untuk
melawan Belanda. Letak Hutan Wonosadi tak jauh dari Gunung Gambar.
Dukuh Dusun Duren, Ibu Ngatini (42
tahun) saat diwawancarai dirumahnya (01/08/12) lalu menjelaskan bahwa tradisi
sadranan sudah berlangsung turun temurun sejak dulu kala.
Sadranan diselenggarakan sebagai ungkapan rasya syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas berkah, rejeki dan keselamatan yang telah diberikan
selama ini, sehingga warga desa bisa hidup tentram dan sejahtera. Selain
itu juga dimaksudkan untuk mengenang arwah para leluhur desa
yang semasa hidupnya telah berjasa merintis keberadaan desa.
“Tradisi sadranan ini dimaksudkan
sebagai ungkapan syukuran, Mbak, atas limpahan rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa,
sekligus untuk mengenang Ki Onggoloco yang
diyakini sebagai leluhur perintis desa“ ujarnya. Warga datang sambil
membawa nasi dan lauk pauk yang dibungkus dengan wadah dari anyaman dan daun
pisang. Lauk yang penulis makan waktu itu adalah ayam, tempe, serta sejenis
pecel. Upacara Sadranan ini dimulai dari basecamp
Kelompok Seni Rinding Gumbeng, yang terletak di Dusun Duren—subunit KKN
penulis—dan diakhiri di puncak Hutan Wonosadi. Aneka jajanan ramai berdatangan
dan menjejali bagian depan basecamp Rinding
Gumbeng. Sebelum menuju puncak Hutan Wonosadi, ritual Sadranan juga dilakukan
di sebuah tempat keramat yang dinaungi pohon besar, yang dijuluki ‘Sendang’.
Menurut Pak Dukuh Dusun Duren, Bapak
Wardi (42 tahun) saat ditanyakan mengenai asal-usul Sendang tersebut (01/08/12),
beliau bertutur, “Sendang itu kan sumber mata air yang banyak dimanfaatkan oleh
warga untuk berbagai kepentingan, antara lain untuk mandi, untuk minum dan
berbagai aktivitas warga lainnya. Air di sini kan jarang banget keringnya, Mbak,
kayak Hutan Wonosadi. Banyak juga kejadian aneh terjadi di sini, jadi tempat
ini dikramatkan. Ya tapi acara sadranan ini semata-mata untuk mengenang dan
melestarikan adat aja, Mbak. Kalau meminta apa-apa ya tetap pada Yang Maha
Kuasa. Soalnya orang jaman sekarang sudah banyak yang lupa sama sejarahnya
sendiri, Mbak.”
Doa bersama dan acara makan bersama
tersebut merupakan pembuka dari prosesi sadranan atau nyadran
yang setiap tahun diperingati umat Islam di Desa Duren. Selama pembacaan doa
itu, anak-anak hingga orang dewasa duduk berbaris mengikuti alur tatanan
barisan tenong. Kemudian ratusan tenong itu diletakkan di sekitar pemakaman
dengan alur penataan memanjang. Makanan ini akan makan oleh anak-anak maupun
orang dewasa tatkala semua prosesi sadranan usai.
Di masyarakat Jawa, nyadran juga sering
disebut ruwahan. Karena pelaksanaannya dilakukan pada bulan
Ruwah dalam hitungan kalender Jawa. Acara Sadranan di Desa Beji ini agak
berbeda dari makna Sadranan pada umumnya. Tradisi nyadran pada umumnya
merupakan ziarah kubur pada bulan Sya’ban (Arab), atau Ruwah dalam kalender
Jawa, menjadi semacam kewajiban bagi orang JawaZiarah dengan membersihkan makam
leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga adalah simbol bakti
dan ungkapan penghormatan serta terima kasih seseorang terhadap para
leluhurnya. Makna yang terkandung dalam persiapan puasa di bulan Ramadan adalah
agar orang mendapatkan berkah dan ibadahnya diterima Allah. Lewat ritual
nyadran, masyarakat Jawa melakukan penyucian diri. Setelah membersihkan makam, biasanya
bagi acara Sadranan pada umumnya di tempat lain, panitia sadranan memutar kaset
yang berisi lantunan ayat suci Alquran.
Namun di Dusun Duren hanya acara doa
bersama. Sejurus kemudian, warga membawa sebuah tenong atau sejenis nampan
bulat yang terbuat dari anyaman bambu beralaskan daun pisang atau daun jati. Seluruh
peserta Sadranan dengan penuh khidmat mengikuti seluruh prosesi ritual yang
ditandai dengan berdoa bersama, dipimpin tetua desa. Seusai doa untuk memohon
keselamatan dan limpahan rejeki dari yang maha kuasa, makanan yang mereka bawa
kemudian dinikmati sebagai ungkapan syukur. Selanjutnya setelah berdoa bersama,
dilakukan pembagian makanan kepada peserta sadranan. Sembari menikmati
makanan, beberapa warga mengambil potongan nasi berikut sebagian
lauk pauk dan jajanan untuk dikumpulkan. Hasil makanan yang dikumpulkan, kemudian
dibagikan di atas pelepah pisang dan dibagikan kepada seluruh peserta dan tamu
undangan sebagai nasi berkat untuk dimakan di tempat atau dibawa pulang.
Menurut pemuka agama setempat, sesajian yang ada didalam tenong itu sebagai wujud syukur atas kelancaran rezeki yang diterimanya selama ini. Oleh sebab itu, bisa dairtikan bahwa mereka itu membawa tenong dan isinya tersebut untuk bersedekah dan beramal. Sebab, selain melakukan ziarah kubur, sadranan ini juga erat kaitannya dengan mempererat tali silaturahmi. Mereka akan saling berkunjung dari rumah ke rumah setelah acara sadranan di makam selesai.
Menurut pemuka agama setempat, sesajian yang ada didalam tenong itu sebagai wujud syukur atas kelancaran rezeki yang diterimanya selama ini. Oleh sebab itu, bisa dairtikan bahwa mereka itu membawa tenong dan isinya tersebut untuk bersedekah dan beramal. Sebab, selain melakukan ziarah kubur, sadranan ini juga erat kaitannya dengan mempererat tali silaturahmi. Mereka akan saling berkunjung dari rumah ke rumah setelah acara sadranan di makam selesai.
Menurut salah seorang budayawan, Mufti
Rahardjo, tradisi sadran memang menjadi salah satu kearifan lokal yang biasa
dilakukan oleh masyarakat Jawa menjelang bulan Puasa. Melalui tradisi ini,
masyarakat Jawa meyakini bisa berkomunikasi dengan leluhurnya. Sebab itu, tradisi
ini diakui sebagai wujud ngabekti pada leluhur yang telah meninggal. Sekaligus
mendoakan para leluhur agar ditempatkan di surga.
Pembagian nasi berkat ini bukan berarti prosesi ritual sadranan telah selesai. Warga dan peserta yang telah makan makanan kemudian melanjutkan perjalanan mendaki ke puncak Hutan Wonosadi. Tradisi sadranan ini akan terus dilestarikan di masa-masa mendatang sebagai warisan budaya dari nenek moyang. Diutarakan, melalui penyelenggaraan ritual sadranan selain dimanfaatkan untuk doa bersama dan ungkapan syukur, juga sekaligus sebagai wahana mempererat tali persaudaraan sesama warga.
Pembagian nasi berkat ini bukan berarti prosesi ritual sadranan telah selesai. Warga dan peserta yang telah makan makanan kemudian melanjutkan perjalanan mendaki ke puncak Hutan Wonosadi. Tradisi sadranan ini akan terus dilestarikan di masa-masa mendatang sebagai warisan budaya dari nenek moyang. Diutarakan, melalui penyelenggaraan ritual sadranan selain dimanfaatkan untuk doa bersama dan ungkapan syukur, juga sekaligus sebagai wahana mempererat tali persaudaraan sesama warga.
Budaya sadranan ini memang berakar pada
tradisi Jawa. Bisa dikatakan, tradisi yang mulai dilakukan 30 hari sebelum
puasa ini merupakan salah satu akulturasi antara budaya Jawa dengan Islam.
Sebelum agama Islam muncul di Jawa, tradisi ini sudah berkembang. Kemudian pada masa Wali Sanga, terjadi proses akulturasi antara budaya Jawa dengan agama Muslim. Pada zaman Mataram Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, tradisi sadranan diatur dengan adanya revolusi penanggalan yang semula penanggalan Hindu, yaitu Saka, menjadi penanggalan Jawa. Menurut almanak Jawa, bulan sebelum Puasa adalah Ruwah. Pada bulan ini diharapkan menyucikan dan membersihkan diri menyambut bulan Puasa sekaligus meminta keselamatan. Juga untuk menghormati dan menghargai leluhur, mengingat kembali petuah, harapan dengan cara membersihkan makam sekaligus ziarah.
Sebelum agama Islam muncul di Jawa, tradisi ini sudah berkembang. Kemudian pada masa Wali Sanga, terjadi proses akulturasi antara budaya Jawa dengan agama Muslim. Pada zaman Mataram Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, tradisi sadranan diatur dengan adanya revolusi penanggalan yang semula penanggalan Hindu, yaitu Saka, menjadi penanggalan Jawa. Menurut almanak Jawa, bulan sebelum Puasa adalah Ruwah. Pada bulan ini diharapkan menyucikan dan membersihkan diri menyambut bulan Puasa sekaligus meminta keselamatan. Juga untuk menghormati dan menghargai leluhur, mengingat kembali petuah, harapan dengan cara membersihkan makam sekaligus ziarah.
Tradisi ini menjadi bagian penting dalam
kehidupan masyarakat Jawa. Karena ini merupakan wujud bakti seorang anak kepada
orangtua dan leluhur yang telah meninggal.
Maka tak heran untuk beberapa daerah, banyak dari mereka yang menyempatkan diri pulang kampung. Selanjutnya para perantau itu pun berkumpul dan bercengkrama dengan anggota keluarga dan warga masyarakat lainnya.
Maka tak heran untuk beberapa daerah, banyak dari mereka yang menyempatkan diri pulang kampung. Selanjutnya para perantau itu pun berkumpul dan bercengkrama dengan anggota keluarga dan warga masyarakat lainnya.
Konsep Buddhisme mengenai Tradisi Sadranan agak berbeda,
yakni tidak dengan melakukan pembunuhan dan pemuasan nafsu. Pembunuhan
selayaknya dikurangi karena manyakiti mahkluk lain. Saran menghindari
pembunuhan hanya dengan membeli daging. Bahkan mengganti daging dengan bahan
pengganti daging yang sudah banyak tersedia di pasar. Pemuasan nafsu memang
sangat sulit karena setiap mengunjungi rumah diharuskan untuk makan. Tentu
tidak merasa enak hati ketika menolak tawaran penghuni rumah yang memaksa untuk
makan. Penghuni rumah selayaknya tidak memaksa tamu untuk tetap makan, sebab
kekenyangan bukan hal yang membahagiakan. Pengunjung tidak terlalu rakus ketika
berkunjung, makan sedikit saja setiap rumah.
Selain Upacara Sadranan, menurut Bu Ngatini, juga terdapat upacara lainnya,
seperti upacara Rasulan, Mboyong Dewi Sri, Midang, Mitoni, dan Ruwatan. Upacara-upacara tersebut biasanya diadakan pada Kamis Legi di Bulan Juli. Acara Rasulan misalnya antara lain terdiri dari makan-makan bersama (syukuran atas berkah Tuhan terhadap hasil panen penduduk), juga diselenggarakan doa bersama atau Tarikatan pada Kamis Leginya, diikuti dengan penampilan kesenian Wayang Kulit hari berikutnya. Biasanya upacara Rasulan tersebut dilakukan di Bulan Juli, namun menurut keterangan Bu Ngatini, karena bertabrakan dengan bulan puasa, maka acara Rasulan dilakukan pada Kamis Legi setelah lebaran. Suatu hal yang sangat disayangkan bagi penulis karena tak berkesempatan menyaksikan upacara tersebut secara langsung.
Pemeliharaan adat leluhur yang masih dilakukan oleh masyarakat sekitar sudah sepatutnya kita tiru sebagai generasi penerus bangsa yang tak melupakan asal-usul bangsanya. Kalau bukan kita sebagai generasi muda yang melakukannya, siapa lagi?
Mahasiswa KKN-PPM UGM Unit Beji sedang mengikuti upacara Sadranan |
Ketua adat sedang berdoa di tengah ritual Sadranan |
Makanan yang disiapkan untuk prosesi Sadranan |
Upacara Sadranan di Sendang |
Warga berkumpul di Sendang sambil membawa makanan |
Penampilan Kesenian Rinding Gumbeng |
Para penyayi Rinding Gumbeng |
Makanan yang akan dibawa ke puncak Hutan Wonosadi |
Upacara Sadranan di Sendang |
Penembang Rinding Gumbeng dalam acara latihan bersama warga |
Mahasiswi KKN-PPM UGM yang ikut menikmati makanan di Sendang |
Prosesi latihan Rinding Gumbeng yang diikuti mahasiswa |
prosesi latihan Rinding Gumbeng |
mahasiswa subunit Dusun duren yang mengikuti latihan |
mahasiswa KKN-PPM UGM subunit Beji yang berbaur dengan warga dalam khidmatnya Sadranan |
Warga Desa Beji berkumpul memeriahkan Upacara Sadranan |
Sumber tulisan: wawancara dengan tokoh
masyarakat sekitar dan pengolahan informasi dari berbagai sumber di situs
internet.
Sumber foto-foto: dokumentasi penulis
selama menjalani KKN-PPM di Dusun Duren, Gunung Kidul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar