Rabu, 01 Agustus 2012

Mengenal Lebih Jauh Dusun Duren



Dusun Duren merupakan salah satu dusun yang terletak di sebelah utara Desa Beji, Kecamatan Gunung Kidul, Yogyakarta. Mata pencaharian warga Dusun Duren umumnya adalah bertani dan beternak. Hampir sebagian besar warga Dusun Duren memiliki ternak dan lahan pertanian pribadi yang diolah secara teratur oleh pemiliknya. Ternak yang lazim dimiliki oleh warga antara lain sapi, ayam dan kambing. Potensi flora dari Dusun Duren ini sangatlah beragam, dan siapa yang menduga kalau sebagian besar dari tanaman tersebut memiliki manfaat sebagai tanaman obat keluarga (TOGA). Tanaman obat tersebut di antaranya adalah Pace (mengkudu), sirih, kunyit putih, kunyit kuning, temulawak, dan sebagainya. Uniknya lagi, tanaman obat tersebut ternyata sangat mudah ditemukan di lingkungan Hutan Wonosadi.
Selain upacara Sadranan, Rasulan dan sebagainya yang telah diulas dalam artikel lain dalam di dalam blog ini, acara yang diselenggarakan oleh Dusun duren adalah acara Jatilan. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Ibu Dukuh Dusun duren, Ngatini (42 tahun) pada 31/07/12 lalu, acara Jatilan tersebut semacam kesenian adat Reog. “Bedanya kalo Jatilan itu bukan cuma nari biasa, Mbak, tapi sebenernya merupakan penampilan yang memanggil arwah. Ya sejenis jalangkung gitulah, Mbak. Jadi biasanya suka ada orang yang kesurupan, terus bisa makan beling gitu.” Ritual Jatilan tersebut biasa diselenggarakan bertepatan dengan acara kemerdekaan Indonesia, yakni 17 Agustus.

Hutan Adat Wonosadi

Plang Hutan Wonosadi

Dusun Duren ini terkenal dengan sebutan Desa Wisata Wonosadi. Kementrerian Negara Lingkungan Hidup pada tahun 2009 mengalokasikan pembangunan Taman Keanekaragaman Hayati di 3 Provinsi, yaitu di Provinsi Lampung, Sumatera Barat dan Daerah Instimewa Yogyakarta. Untuk Taman Kehati yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta, berlokasi di Kabupaten Gunungkidul seluas 15 ha, tepatnya berada di :
  1. Hutan Wonosadi di Dusun Duren Desa Beji Kecamatan Ngawen, seluas 5 Ha;
  2. Hutan Konservasi Tanaman Langka Telaga Jurug Dusun Danggolo Desa Purwodadi Kecamatan Tepus,  seluas 4 Ha;
  3. Hutan Konservasi Tanaman Langka Gunung Bajo dan Bekas Telaga Sengon Desa Purwodadi Kecamatan Tepus seluas 6 Ha
dengan jumlah tanaman keseluruhan sebanyak 10.000 batang yang terdiri dari 71 jenis tanaman.
Adapun tujuan dibangunnya Taman Keanekaragaman Hayati tersebut adalah untuk :
  1. Menyelamatkan berbagai jenis tumbuhan lokal Daerah Istimewa Yogyakarta dari ancaman kepunahan melalui pembudidayaan jenis-jenis tumbuhan  lokal
  2. Mengoleksi  contoh  hidup  jenis-jenis tumbuhan lokal Daerah Istimewa Yogyakarta
  3. Sarana pendidikan, penelitian, dan praktek pengenalan jenis-jenis tumbuhan lokal
  4. Menyediakan sumber benih jenis-jenis tumbuhan lokal
  5. Pengembangan ekowisata
  6. Ruang Terbuka Hijau.
Penyerahan Taman Keanekaragaman Hayati Daerah istimewa Yogyakarta dari Kementerian LH kepada Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dilakukan pada hari Sabtu tanggal 5 Desember 2009 bertempat di aula Badan Lingkungan Hidup Provinsi DIY ditandai dengan Penandatanganan Kesepakatan Bersama antara ketiga unsur Pemerintah (para pihak) tersebut. Inti dari Kesepakatan Bersama tersebut adalah memuat hak dan kewajiban dalam rangka pemeliharaan, perawatan maupun pengembangannya. Selain Dusun Duren, julukan Desa Wisata juga mencakup bagi Dusun Sidorejo, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul, Yogyakarta, Indonesia.
Desa Wisata Wonosadi terletak di dua dusun yaitu Dusun Duren dan Sidorejo, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi ini berada sekitar 35 km kea rah utara dari Kota Wonosari.  Potensi wisata yang ditawarkan di Desa Wisata ini adalah eksotisme Hutan dengan suasana yang masih alami. Lokasi hutan tersebut sangat dijaga dengan baik oleh masyarakat sekitar.
Selain Hutan Wonosadi sebagai potensi wisata, Desa ini juga memiliki daya tarik lain yaitu Watu Gedhong, Kali Ndek, dan Sedang Karang Tengah yang merupakan wisata rohani. Kerajinan juga merupakan nilai tambah yang dimiliki oleh desa wisata ini. Masyarakatnya memiliki benda-benda kerajinan dari bambu. Berbagai kesenian dan acara kebudayaan juga sering dilakukan seperti upacara rasulan, sadranan, mboyong dewi Sri, midang, mitoni, ruwatan serta seni music rinding gumbeng.
Fasilitas yang dimiliki oleh desa wisata ini relative lengkap demi mendukung segala potensi wisatanya. Fasilitas yang ada diantaranya adalah penginapan dengan kapasitas 10 orang dengan biaya sewa yang masih terjangkau. Terdapat juga pusat jajanan untuk membeli oleh-oleh bagi wisatawan. Area parker juga luas dengan kapasitas sekitar 20 mobil, 50 sepeda motor dan 3 bus. Fasilitas tersebut juga didukung dengan pusat informasi yang akan melayani pengunjung pada jam kerja.
Akses menuju lokasi ini sangat mudah dan dapat diakses menggunakan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat. Apabila pengunjung ingin menggunakan transportasi umum, pengunjung dapat memanfaatkan bus maupun angkutan menuju lokasi ini.
Tidak ada salahnya untuk mengunjungi desa ini karena ada banyak obyek menarik.Salah satunya adalah bongkahan batu seukuran rumah yang banyak tersebar di desa itu. Ada sekelompok batu besar yang berserakan di ladang yang masuk wilayah Dusun Duren, Desa Beji. Penduduk menamakannya sebagai Batu Gendong (Watu Gong). Bila anda berwisata di Desa Beji maka penduduk akan bercerita tentang mitolgi keberadaan batu-batu besar itu. Mengapa di sesebut Watu Gong? Karena batu-batu yang terdapat di tempat ini sangat besar dan bulat seperti alat musik gong yang besar dan bulat. Tempat ini merupakan sebuah tanah lapang di sekitarnya terdapat sawah dan terdapat batu-batu besar yang tersebar di barbagai tempat tersebut. Terdapat sebuah batu yang memiliki bekas seperti telapak tangan raksasa atau sangat besar dan tampak sangat jelas. Batu-batu di tempat ini berwarna hitam pekat.

Tempat ini di kelilingi sawah dan kebun tebu, sehingga jalan masuk tempat ini harus melewati sekeliling sawah karena tidak ada jalan khusus untuk masuk tempat ini. Walaupun demikian kita akan dimanjakan dengan pemandangan hutan yang sangat menarik karena kita berada diatas bukit dan ditambah dengan pemandangan Watu Gong yang menawan.
Di tempat ini tidak ada fasilitas khusus yang di sediakan seperti kamar mandi,lapak pedagang ataupun tempat masuk wisata , sehingga kita harus menyiggapi semua hal yang terjadi nantinya di sini seperti jika lapar kita membawa bekal sendiri dan lainnya. Di sini saya hanya menyajikan sedikit informasi yang saya tahu dan akan lebih lengkap jika Anda mengunjungi situs web Gunungkidul sebagai berikut www.gunungkidulkab.go.id .

Selain itu anda juga dapat menyaksikan hutan Wonosadi yang menjadi kebanggan desa wisata ini. Hutan ini sangat lebat, layaknya hutan hujan tropis. tajuknya sangat rapat sehingga sangat nyaman berada di dalamnya.
Hutan Wonosadi adalah hutan yang dikelola secara adat oleh masyarakat sekitar hutan dusun duren dan dusun sidorejo,Desa Beji Gunungkidul, dipercaya sebagai hutan alam warisan nenek moyang, hutan yang anker dan hutan yang disakralkan, sehingga mereka tetap harus dijaga.
Hutan Wonosadi diartikan sebagai hutan yang penuh rahasia, yang berasal dari dua pemenggalan kata yaitu Wono artinya Hutan dan Sandi artinya rahasia. diceritakan dari generasi ke generasi bahwa hutan ini adalah hutan yang sangat angker dan dihuni oleh mahluk halus.
Dalam era reformasi konservasi hutan Wonosadi lebih ditingkatkan termasuk juga peningkatan hutan penyangga. setiap awal musim penghujan tiba secara rutin dilaksanakan penanaman susulan pada lahan yang masih memungkinkan. Begitu juga oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul selalu memberikan berbagai jenis bibit penghijauan untuk ditanam pada hutanWonosadi dan hutan penyangga. Dalam jangka waktu dua dasa warsa hingga sekarang perkembangan dua jenis hutan tersebut dapat dibanggakan.Keamanan hutan terjaga dengan baik berkat kesadaran masyarakat sekitar hutan Sekarang telah ditnamakan paradigma baru : bahwa kita harus melestarikan hutan, sebab hutan bukan milik kita tetapi merupakan titipan anak cucu yang harus kita pertanggung jawabkan. Inilah maksud sebenarnya dari “pesan sakti” ( mitos ) yang diwasiatkan oleh Sang Cikal bakal KI ONGGOLOCO
sampai saat ini banyak penghargaan yang sudah diterima oleh masyarakat pengelola wonosadi dalam pelestarian hutan adat iniBanyak kunjungan dari intansi pemerintah maupun wisatawan asing yang ingin menyaksikan keindahan dan keunikan hutan wonosadi. Salah satu kunjungan dari menteri kehutanan tahun kemarin menunjukan bahwa hutan adat wonosadi patut dibanggakan digunungkidul ini.

Hutan Wonosari
  • Luas Area : 25 ha
  • Status Hutan : Hutan Adat
  • Pengelola : Kelompok Tani Sumber Rejeki/Desa Wisata Wonosadi, Baladewi
  • Alamat/Lokasi : Duren, Beji, Ngawen, Gunungkidul, Yogyakarta
  • Penanggung Jawab : Pemerintah Desa Beji
  • Pembina : Camat Ngawen, Pemda Gunungkidul,/Instansi terkait
Tak perlu takut kemalaman di sana sebab ada tiga home stay yang dapat dimanfaatkan. Murah, hitungannya satu kali makan untuk satu orang dikenai biaya sebesar Rp 10.000. jadi, tunggu apa lagi? Segera masukkan Desa Wisata Wonosadi dalam list place must to go yang harus dikunjungi saat liburan tiba.

Warga Bendo Mengolah Makanan Inovatif Berbahan Ketela Pohon

Minggu 17 Juli 2011 bertempat di balai dusun Bendo, ibu-ibu pkk dusun bendo bersama-sama dengan dengan mahasiswa KKN PPM UGM 2011 UNIT BEJI berhasil menyulap ketela pohon dan gaplek menjadi makanan olahan yang inovatif dan memiliki cita rasa baru yaitu berupa kroket ketela pohon dan tiwul kedelai. Acara diawali dengan penjelasan resep kroket ketela pohon dan tiwul kedelai oleh mahasiswa KKN PPM UGM 2011 kemudian dilanjutkan tahap pengolahan makanan. Para peserta acara sangat antusias mengikuti jalannya kegiatan dengan saling bekerja sama dengan mahasiswa KKN PPM UGM 2011 dalam mengolah bahan olahan tersebut untuk menghasilkan makanan yang inovatif. Disela –sela acara peserta dipersilahkan untuk melakukan pemeriksaan tensi sambil menunggu masakan matang’

A. Sekilas tentang Ketela Pohon
Ketela pohon atau dikenal dengan singkong merupakan tanaman yang berasal dari benua Amerika, tepatnya dari negara Brazil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain: Afrika, Madagaskar, India, Tiongkok. Ketela pohon berkembang di negara-negara yang terkenal wilayah pertaniannya dan masuk ke Indonesia pada tahun 1852 (Danarti & Najiyati, 1998). Ketela pohon saat ini menjadi salah satu hasil pertanian utama di Gunung kidul.
Ketela pohon cukup potensial untuk dikembangkan karena ketela pohon merupakan tanaman yang sudah dikenal oleh petani dan dapat ditanam dengan mudah. Ketela pohon juga merupakan tanaman yang fleksibel serta lahan untuk tanaman ketela pohon tidak harus khusus, dan tidak memerlukan penggarapan intensif seperti halnya untuk tanaman hortikultura lainnya, misal sayuran.

B. Kandungan
Ketela pohon mempunyai kandungan nutrisi yang cukup lengkap yaitu:
Kandungan Nutrisi pada ketela pohon ( per 100 gram )
* Kalori 146 kal
* Air 62,5 gram
* Phosphor 40 mg
* Karbohidrat 34 gram
* Kalsium 33 mg
* Vitamin C 30 mg
* Protein 1,2 gram
* Besi 0,7 mg
* Lemak 0,3 gram
* Vitamin B1 0,06 mg
* Berat dapat dimakan 75 gram
* 87 % bagian daun dapat dimakan
* Kulit batang ubi kayu mengandung tannin, enzim peroksidase, glikosida dan kalsium oksalat. Tingginya kandungan nutrisi tersebut maka ketela pohon banyak digunakan sebagai bahan makanan dan obat oleh masyarakat. Ketela pohon dapat diolah menjadi gaplek, tepung tapioka, sirup maltosa, sorbitol dan lain sebagainya.

C. Manfaat
Ketela pohon menjadi sumber bahan pangan pokok setelah beras dan jagung. Daun ketela pohon dimanfaatkan sebagai bahan sayuran memiliki protein cukup tinggi dan umbinya merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat. Kayunya bisa digunakan sebagai pagar kebun atau di desa-desa sering digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak. Dengan perkembangan teknologi ketela pohon dijadikan bahan dasar pada industri makanan dan bahan baku industri pakan. Selain itu digunakan pula pada industri obat-obatan.
Ketela pohon sangat berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit diantaranya yaitu reumatik, demam, sakit kepala, diare, cacingan, mata kabur; luka bernanah.

Resep “Kroket Ketela Pohon”
Bahan Kroket Ketela Pohon :
• 1 kg ketela pohon, kupas, kukus, haluskan
• 100 g mentega
• 1 sdt kaldu ayam bubuk

Bahan Isi Kroket Ketela Pohon :
• 3 buah kentang, potong kecil-kecil
• 3 bh wortel, potong kecil-kecil
• 3 btg daun bawang, iris halus
• 1 siung bawang putih, iris halus
• 3 siung bawang merah, iris halus
• 1/2 sdt merica
• Air secukupnya
• 1/2 sdt garam secukupnya
• 1 sdt kaldu ayam bubuk

Bahan pelapis kroket Ketela Pohon:
• 1 butir telur
• Tepung panir secukupnya

Cara Membuat Kroket Ketela Pohon :
1. Membuat isi: tumis bawang merah dan bawang putih sampai harum lalu tambahkan kentang, wortel, daun bawang, merica, garam dan kaldu bubuk. Masak sampai agak matang. Tambahkan air lalu masak lagi sampai kering, sisihkan.
2. Campur ketela pohon dengan mentega, kaldu ayam bubuk lalu aduk sampai rata.
3. Ambil adonan, pipihkan lalu tengahnya isi dengan adonan isi. Bentuk lonjong, celup ditelur dan tepung panir lalu goreng kecokelatan dengan api kecil.
4. Sajikan selagi panas

TIWUL KEDELAI “WULLAI”
Bahan: 500 gram tepung gaplek, 300 gram gula jawa, jagung 4 buah (1/2 kg), ½ butir kelapa parut, pisang kapok 10 buah, nangka 1 kg (kalau suka), kedelai 200 gram dan garam 1,5 sendok makan serta daun pisang dari 5-6 lembar panjang.

Cara membuat :
1. kedelai direbus sampai mendidih lalu digiling/diblender sampai lumat
2. jagung manis diparut
3. pisang kapok dan nangka diiris kecil-kecil 1-2 cm
4. semua bahan (tepung gaplek, parutan kelapa, kedelai giling, parutan jagung dicampur sampai rata, diberi garam secukupnya dan irisan gula jawa, dicampur lagi.
5. Siapkan dandang/soblok beri air secukupnya. Bagian untuk mengukus diberi daun pisang. Semua bahan dikukus selama 30 menit sampai matang
6. Tiwul kedelai “wullai” hangat siap dibungkus kecil-kecil, bisa dikonsumsi atau dijual

Sementara saat penulis kebetulan sedang melakukan pendataan tanaman obat (agenda KKN subunit Duren 2012) di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul pada 30/07/12, penulis berkesempatan menyaksikan sendiri betapa melimpahnya hasil alam ketela pohon tersebut di hampir seluruh rumah warga. Hal tersebut wajar, mengingat bulan Juli merupakan bulan panen ketela pohon, sehingga ketela pohon seolah bergeletakan di hampir setiap halaman rumah warga.


KACANG TANAH


Siapa yang tidak kenal dengan kacang? Camilan kriuk renyah gurih ini sering dihindari karena dituduh sebagai biang kerok munculnya jerawat. Padahal kacang punya sejumlah mineral dan vitamin yang dahsyat untuk tubuh.
Makan kacang sambil nonton atau sambil ngobrol memang mengasyikkan. Kadang sampai sulit sekali berhenti sebelum kacang habis. Namun, tidak sedikit orang yang menghindari kacang karena takut gemuk atau jerawatan. Semua jenis kacang mengandung protein nabati yang cukup tinggi. Tak heran jika kacang selalu masuk ke dalam menu diet sehat di beberapa program diet.
Nutrisi apa saja yang terkandung dalam kacang-kacangan? Di dalam semua jenis kacang, terkandung polifenol antioksidan terutama senyawa asam p-coumaric. Kacang tanah sangrai, meningkatkan kadar asam p-coumaric dan secara langsung meningkatkan kadar antioksidan menjadi 22%. Antioksidan di dalam kacang yang disangrai sama dengan antioksidan di dalam strawberry dan blueberry. Bahkan melebihi apel, wortel, dan buah bit.
Kacang tawar tanpa rasa asin baik untuk pembuluh arteri. Satu seperempat cangkir kacang tanah, mengandung lemak tak jenuh tunggal yang setara dengan satu sendok makan minyak zaitun. Lemak tak jenuh tunggal ini sangat baik untuk tubuh karena dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah.
Kandungan Niacin yang tinggi dalam kacang dapat membantu pemulihan kerusakan sel dan melindungi tubuh dari penyakit Alzheimer dan masalah yang berkaitan dengan usia.
Kacang merupakan sumber vitamin E yang sudah dikenal sejak dulu. Vitamin E merupakan salah satu antioksidan yang potensial untuk mencegah timbulnya kanker dan penyakit pada kardiovaskular.
Kacang juga mengandung zat besi sangat baik untuk produksi sel darah merah dalam tubuh.
Jika tak suka dengan susu, bisa diganti dengan kacang. Karena kacang mengandung kalsium yan baik untuk pertumbuhan tulang.
Di dalam kacang terkandung resveratrol bioflavonoid yang cukup tinggi. Bioflavonoid ini membantu meningkatkan aliran darah di otak sebanyak 30%, sehingga mengurangi resiko terkena stroke. Dengan mengkonsumsi kacang setiap hari dapat menguirangi kolesterol jahat hingga 14%.
Di dalam kacang terdapat kandungan serat yang membantu tubuh terhindar dari resiko kanker usus besar.  Juga membantu mempercepat pertumbuhan hormon pria dan wanita. Tumbuhan ini merupakan salah satu komoditi utama yang ditemukan melimpah di Desa Beji, khususnya di Dusun Duren. Tanaman ini belum banyak dimanfaatkan lebih lanjut dan hendaknya digali kembali pengolahan pangan yang tepat guna agar menambah keragaman pangan dalam negeri dan meningkatkan taraf hidup petani.

Upacara Nyadran

Oleh: Hurul Aini Silmi

YOGYAKARTA, GUNUNG KIDUL, Tradisi Sadranan di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen,  yang dilaksanakan  pada senin lalu (16/07/12) berlangsung meriah, diikuti ratusan warga baik dari kalangan warga Desa Beji, pengunjung dari luar, serta kru media massa yang datang meliput. Sampai hari ini, warga desa di sekitar Hutan Wonosadi masih terus menjalankan berbagai upacara adat. Upacara adat tersebut digelar untuk menghormati leluhur yang membangun hutan tersebut. Salah satu upacara yang diikuti oleh anak-anak KKN PPM-UGM 2012 Unit Beji adalah Upacara Sadranan.
           Berdasarkan definisi menurut Wikipedia, yang dijelaskan dalam bahasa Jawa, Sadranan utawa nyadran yakuwi rangkean kegiatan keagamaan sing wis dadi tradisi sing dilakoni nang wulan Syakban (Ruwah) menjelang wulan Ramadhan (Puasa). Tradisi Sadranan wis umum dilakoni masyarakat muslim Asia Tenggara ning kadang beda jeneng karo beda rangkean kegiatane. Masyarakat Jawa, termasuk juga masyarakat Desa Beji, Kecamatan Ngawen, ngelakoni tradisi kiye sebagai penghormatan maring arwah leluhur, kerabat/sedulur.
Tradisi Sadranan (Nyadran) untuk sekarang ini dipengaruhi kuat oleh agama Islam. Sebenarnya kata Sadranan berasal dari bahasa sansekerta, Sraddha yang berarti keyakinan. Akan tetapi, tradisi Sadranan dikemas ulang oleh Sunan Kalijaga dalam nuansa Islamik dan silahturahmi. Tradisi Nyadran tidak terlalu mempengaruhi agama Buddha, tetapi terdapat pemahaman yang tidak sesuai dengan paham Buddhisme. Pembunuhan binatang, seperti; ayam, kambing, dan sapi yang digunakan sebagai sarana tradisi. Selain itu, juga terdapat konsep yang berada diluar jalan tengah, yaitu pemuasan nafsu. Ketika Tradisi Sadranan dimulai, orang-orang diharapkan untuk makan di setiap rumah yang disinggahi. Meskipun kantong perut sudah tidak muat dengan makanan lagi, tetap saja diharuskan untuk makan. Bukankah hal tersebut sama saja dengan pemuasan nafsu.
Upacara ritual sadranan yang rutin diselenggarakan setahun sekali  pada setiap hari Senin Legi di Bulan Juli itu, merupakan ritual adat yang terdiri dari acara makan bersama di Puncak Hutan Wonosadi maupun Gunung Gambar serta mempertontonkan tradisi adat. Berdasarkan kisah yang ditulis oleh seorang tetua adat, Muh Kasno, dalam bukunya ‘Sebuah Kearifan Lokal Konservasi Sumber Daya Alam Hutan Wonosadi’ menceritakan Setelah Majapahit runtuh, Eyang Honggoloco, nama samaran Raden Ronggo, senopati Kerajaan Majapahit, bersama keluarganya pergi dan kemudian menemukan tempat itu. Beliau kemudian bertapa di hutan tersebut sehingga tak boleh  dikotori dengan perbuatan tidak baik.
Berdasarkan penuturan dari Bapak Dukuh Sidorejo saat penulis berkunjung dalam rangka peninjauan lokasi KKN, banyak terjadi peristiwa aneh yang terjadi yang kemudian menyadarkan warga untuk tidak menebang pohon atau mencuri kayu dari  hutan. Kejadian tersebut antara lain seperti meja atau kursi yang terbuat dari kayu hutan seringkali berderit sendiri tanpa sebab, atau bangunan yang dibangun dari kayu hutan tersebut tak akan bertahan lama, misalkan hangus karena kebakaran, dan sebagainya.
Untuk memberikan kesadaran akan lingkungan kadang terkait dengan mitos tertentu, hal inilah konsep yang dipakai masyarakat desa wonosadi tersebut. Dengan kepercayaan bahwa hutan tersebut milik Pangeran Onggolotjo seorang putra keturunan dari Kerajaan Majapahit. Pangeran tersebut memberikan kepercayaan warga desa WOnosadi untuk mengelola dan menjaga HUtan Wonosadi dengan sebaik-baiknya. Dengan rasa takut yang menggangap status hutan milik orang kerajaan atau ningrat, maka hal ini menumbuhkan kesadaran untuk menjaga semua kekayaan yang ada dihutan Wonosadi tersebut. Karena ras takut itulah maka berimbas akan kelestarian ekosistem hutan dengan baik. Oleh karena itu Hutan Wonosadi merupakan hutan lindung dalam artian benar-benar dilindungi dan dipelihara kelestariannya oleh warganya. Ini merupakan konsep yang sederhana yang diterapkan namun dapat di pahami oleh seluruh warga untuk menjaga kelestarian hutan sebagai satu adat istiadat yang wajib dilestarikan.
Hutan Wonosadi saat ini dijaga 25 relawan yang bertugas menjaga dan merawat hutan, serta menanam bibit-bibit baru. Para relawan tersebut mendapatkan "keistimewaan", antara lain mereka dibebaskan dari kerja bakti—yang nyatanya tak pernah ada kerja bakti—mereka juga dibebaskan dari pungutan wajib desa yang jumlahnya hanya Rp 5.000 setiap tahunnya. Selain itu mereka uga dibebaskan dari biaya membuat surat-surat keterangan, padahal belum tentu setahun sekali membuat surat  keterangan. Upacara Sadranan ini biasanya diikuti dengan pertunjukan kesenian musik rinding gumbeng. Seni Rinding Gumbeng adalah seni music yang menggambarkan kondisi keeharian mayoritas masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul yang ulet, sederhana, dan dekat dengan alam. Kesenian ini dulu merupakan kesenian yang dimainkan saat panen pertama, namun saat ini sudah jarang dimainkan namun desa ini berupaya tetap melestarikan dengan cara memadukan dengan musik tradisional lainnya seperti campursari.
Selain dilakukan di Hutan Wonosadi, upacara adat Sadranan juga seringkali dilakukan di Gunung Gambar. Gunung Gambar merupakan obyek wisata spiritual yang berada di Desa Jurangrejo, Kecamatan Ngawen kurang lebih 39 km dari Wonosari, terletak pada ketinggian 200 m di atas permukaan laut, sehingga dari puncaknya kita dapat menikmati keindahan Rawa Jombor di Klaten dan Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri.
Menurut legenda, tempat ini merupakan pertapaan Raden Mas Said atau lebih dikenal sebagai Pangeran Samber Nyawa, yang kemudian menjadi pengusa Mangkunegaran Surakarta dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. Di tempat ini beliau duduk diatas batu (watu Kong) menggambar lokasi yang akan menjadi wilayah Mangkunegaran serta menyusun strategi untuk melawan Belanda. Letak Hutan Wonosadi tak jauh dari Gunung Gambar.
Dukuh Dusun Duren, Ibu Ngatini (42 tahun) saat diwawancarai dirumahnya (01/08/12) lalu menjelaskan bahwa tradisi sadranan  sudah  berlangsung turun temurun  sejak dulu kala. Sadranan diselenggarakan  sebagai ungkapan rasya syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa  atas  berkah, rejeki dan keselamatan yang telah diberikan selama ini, sehingga warga desa bisa hidup  tentram dan sejahtera. Selain itu  juga dimaksudkan untuk mengenang arwah para leluhur  desa  yang semasa hidupnya telah berjasa merintis  keberadaan desa.
“Tradisi sadranan ini dimaksudkan sebagai ungkapan syukuran, Mbak, atas limpahan rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa, sekligus untuk mengenang Ki  Onggoloco yang diyakini sebagai  leluhur perintis desa“ ujarnya. Warga datang sambil membawa nasi dan lauk pauk yang dibungkus dengan wadah dari anyaman dan daun pisang. Lauk yang penulis makan waktu itu adalah ayam, tempe, serta sejenis pecel. Upacara Sadranan ini dimulai dari basecamp Kelompok Seni Rinding Gumbeng, yang terletak di Dusun Duren—subunit KKN penulis—dan diakhiri di puncak Hutan Wonosadi. Aneka jajanan ramai berdatangan dan menjejali bagian depan basecamp Rinding Gumbeng. Sebelum menuju puncak Hutan Wonosadi, ritual Sadranan juga dilakukan di sebuah tempat keramat yang dinaungi pohon besar, yang dijuluki ‘Sendang’.
Menurut Pak Dukuh Dusun Duren, Bapak Wardi (42 tahun) saat ditanyakan mengenai asal-usul Sendang tersebut (01/08/12), beliau bertutur, “Sendang itu kan sumber mata air yang banyak dimanfaatkan oleh warga untuk berbagai kepentingan, antara lain untuk mandi, untuk minum dan berbagai aktivitas warga lainnya. Air di sini kan jarang banget keringnya, Mbak, kayak Hutan Wonosadi. Banyak juga kejadian aneh terjadi di sini, jadi tempat ini dikramatkan. Ya tapi acara sadranan ini semata-mata untuk mengenang dan melestarikan adat aja, Mbak. Kalau meminta apa-apa ya tetap pada Yang Maha Kuasa. Soalnya orang jaman sekarang sudah banyak yang lupa sama sejarahnya sendiri, Mbak.”
Doa bersama dan acara makan bersama tersebut merupakan pembuka dari prosesi sadranan atau nyadran yang setiap tahun diperingati umat Islam di Desa Duren. Selama pembacaan doa itu, anak-anak hingga orang dewasa duduk berbaris mengikuti alur tatanan barisan tenong. Kemudian ratusan tenong itu diletakkan di sekitar pemakaman dengan alur penataan memanjang. Makanan ini akan makan oleh anak-anak maupun orang dewasa tatkala semua prosesi sadranan usai.
Di masyarakat Jawa, nyadran juga sering disebut ruwahan. Karena pelaksanaannya dilakukan pada bulan Ruwah dalam hitungan kalender Jawa. Acara Sadranan di Desa Beji ini agak berbeda dari makna Sadranan pada umumnya. Tradisi nyadran pada umumnya merupakan ziarah kubur pada bulan Sya’ban (Arab), atau Ruwah dalam kalender Jawa, menjadi semacam kewajiban bagi orang JawaZiarah dengan membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga adalah simbol bakti dan ungkapan penghormatan serta terima kasih seseorang terhadap para leluhurnya. Makna yang terkandung dalam persiapan puasa di bulan Ramadan adalah agar orang mendapatkan berkah dan ibadahnya diterima Allah. Lewat ritual nyadran, masyarakat Jawa melakukan penyucian diri. Setelah membersihkan makam, biasanya bagi acara Sadranan pada umumnya di tempat lain, panitia sadranan memutar kaset yang berisi lantunan ayat suci Alquran.
Namun di Dusun Duren hanya acara doa bersama. Sejurus kemudian, warga membawa sebuah tenong atau sejenis nampan bulat yang terbuat dari anyaman bambu beralaskan daun pisang atau daun jati. Seluruh peserta Sadranan dengan penuh khidmat mengikuti seluruh prosesi ritual yang ditandai dengan berdoa bersama, dipimpin tetua desa. Seusai doa untuk memohon keselamatan dan limpahan rejeki dari yang maha kuasa, makanan yang mereka bawa kemudian dinikmati sebagai ungkapan syukur. Selanjutnya setelah berdoa bersama, dilakukan pembagian makanan kepada peserta sadranan. Sembari  menikmati makanan,  beberapa warga  mengambil potongan nasi berikut sebagian lauk pauk dan jajanan untuk dikumpulkan. Hasil makanan yang dikumpulkan, kemudian dibagikan di atas pelepah pisang dan dibagikan kepada seluruh peserta dan tamu undangan sebagai nasi berkat untuk dimakan di tempat atau dibawa pulang.
Menurut pemuka agama setempat, sesajian yang ada didalam tenong itu sebagai wujud syukur atas kelancaran rezeki yang diterimanya selama ini. Oleh sebab itu, bisa dairtikan bahwa mereka itu membawa tenong dan isinya tersebut untuk bersedekah dan beramal. Sebab, selain melakukan ziarah kubur, sadranan ini juga erat kaitannya dengan mempererat tali silaturahmi. Mereka akan saling berkunjung dari rumah ke rumah setelah acara sadranan di makam selesai.
Menurut salah seorang budayawan, Mufti Rahardjo, tradisi sadran memang menjadi salah satu kearifan lokal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa menjelang bulan Puasa. Melalui tradisi ini, masyarakat Jawa meyakini bisa berkomunikasi dengan leluhurnya. Sebab itu, tradisi ini diakui sebagai wujud ngabekti pada leluhur yang telah meninggal. Sekaligus mendoakan para leluhur agar ditempatkan di surga.
Pembagian nasi berkat ini bukan berarti prosesi ritual sadranan  telah selesai. Warga dan peserta yang telah makan makanan kemudian melanjutkan perjalanan mendaki ke puncak Hutan Wonosadi. Tradisi sadranan ini akan terus dilestarikan  di masa-masa mendatang sebagai warisan budaya dari nenek moyang. Diutarakan, melalui penyelenggaraan ritual sadranan selain dimanfaatkan untuk   doa bersama  dan ungkapan syukur, juga sekaligus sebagai wahana mempererat tali persaudaraan sesama warga.
Budaya sadranan ini memang berakar pada tradisi Jawa. Bisa dikatakan, tradisi yang mulai dilakukan 30 hari sebelum puasa ini merupakan salah satu akulturasi antara budaya Jawa dengan Islam.
Sebelum agama Islam muncul di Jawa, tradisi ini sudah berkembang. Kemudian pada masa Wali Sanga, terjadi proses akulturasi antara budaya Jawa dengan agama Muslim. Pada zaman Mataram Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, tradisi sadranan diatur dengan adanya revolusi penanggalan yang semula penanggalan Hindu, yaitu Saka, menjadi penanggalan Jawa. Menurut almanak Jawa, bulan sebelum Puasa adalah Ruwah. Pada bulan ini diharapkan menyucikan dan membersihkan diri menyambut bulan Puasa sekaligus meminta keselamatan. Juga untuk menghormati dan menghargai leluhur, mengingat kembali petuah, harapan dengan cara membersihkan makam sekaligus ziarah.
Tradisi ini menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Karena ini merupakan wujud bakti seorang anak kepada orangtua dan leluhur yang telah meninggal.
Maka tak heran untuk beberapa daerah, banyak dari mereka yang menyempatkan diri pulang kampung. Selanjutnya para perantau itu pun berkumpul dan bercengkrama dengan anggota keluarga dan warga masyarakat lainnya.
 Konsep Buddhisme mengenai Tradisi Sadranan agak berbeda, yakni tidak dengan melakukan pembunuhan dan pemuasan nafsu. Pembunuhan selayaknya dikurangi karena manyakiti mahkluk lain. Saran menghindari pembunuhan hanya dengan membeli daging. Bahkan mengganti daging dengan bahan pengganti daging yang sudah banyak tersedia di pasar. Pemuasan nafsu memang sangat sulit karena setiap mengunjungi rumah diharuskan untuk makan. Tentu tidak merasa enak hati ketika menolak tawaran penghuni rumah yang memaksa untuk makan. Penghuni rumah selayaknya tidak memaksa tamu untuk tetap makan, sebab kekenyangan bukan hal yang membahagiakan. Pengunjung tidak terlalu rakus ketika berkunjung, makan sedikit saja setiap rumah.
Selain Upacara Sadranan, menurut Bu Ngatini, juga terdapat upacara lainnya, seperti upacara Rasulan, Mboyong Dewi Sri, Midang, Mitoni, dan Ruwatan. Upacara-upacara tersebut biasanya diadakan pada Kamis Legi di Bulan Juli. Acara Rasulan misalnya antara lain terdiri dari makan-makan bersama (syukuran atas berkah Tuhan terhadap hasil panen penduduk), juga diselenggarakan doa bersama atau Tarikatan pada Kamis Leginya, diikuti dengan penampilan kesenian Wayang Kulit hari berikutnya. Biasanya upacara Rasulan tersebut dilakukan di Bulan Juli, namun menurut keterangan Bu Ngatini, karena bertabrakan dengan bulan puasa, maka acara Rasulan dilakukan pada Kamis Legi setelah lebaran. Suatu hal yang sangat disayangkan bagi penulis karena tak berkesempatan menyaksikan upacara tersebut secara langsung.
Pemeliharaan adat leluhur yang masih dilakukan oleh masyarakat sekitar sudah sepatutnya kita tiru sebagai generasi penerus bangsa yang tak melupakan asal-usul bangsanya. Kalau bukan kita sebagai generasi muda yang melakukannya, siapa lagi?


Mahasiswa KKN-PPM UGM Unit Beji sedang mengikuti upacara Sadranan

Ketua adat sedang berdoa di tengah ritual Sadranan
Makanan yang disiapkan untuk prosesi Sadranan
Upacara Sadranan di Sendang
Warga berkumpul di Sendang sambil membawa makanan
Penampilan Kesenian Rinding Gumbeng
Para penyayi Rinding Gumbeng
Makanan yang akan dibawa ke puncak Hutan Wonosadi
Upacara Sadranan di Sendang
Penembang Rinding Gumbeng dalam acara latihan bersama warga
Mahasiswi KKN-PPM UGM yang ikut menikmati makanan di Sendang
Prosesi latihan Rinding Gumbeng yang diikuti mahasiswa
prosesi latihan Rinding Gumbeng
mahasiswa subunit Dusun duren yang mengikuti latihan
mahasiswa KKN-PPM UGM subunit Beji yang berbaur dengan warga dalam khidmatnya Sadranan


Warga Desa Beji berkumpul memeriahkan Upacara Sadranan

 Sumber tulisan: wawancara dengan tokoh masyarakat sekitar dan pengolahan informasi dari berbagai sumber di situs internet.

Sumber foto-foto: dokumentasi penulis selama menjalani KKN-PPM di Dusun Duren, Gunung Kidul.